Ia tersenyum, ramah, kemudian melempar canda yang menjadikan semua tertawa, lepas, bebas tanpa sekat.
Yah, dia menyenangkan! Bagi yang mengenalinya jauh sangat dalam. Ia membosankan, pemurung, bagi mereka yang tak mampu menyentuh jiwanya.
Kadang, manusia suka amnesia. Untuk bisa diterima, kita perlu menerima. Agar yang lapang adalah hati, bukan ego.
Lambat dan pasti, akhirnya kegagalan mengajarinya lagi. Rasa adalah nyaman, sedang kagum adalah fana. Dan yang abadi hanyalah dusta. Cinta tak pernah bisa hadir, bagi setiap hati yang picik penuh dendam.
Ia kembali tertawa, menertawakan dirinya. Keluguan dan ketololan yang ia rawat membuatnya terus menanggung malu. Pesakitan atas rasa cinta yang tumbuh kembang tanpa dasar dan sadar.
Hari berlalu, selimut sepi tak juga lepas. Didekapnya hangat seperti anugerah, tanpa pernah sadar bahwa separuh warasnya telah lama hilang.
Kelam, hidup begitu kelam baginya. Pesakitan cinta semu.
Tuhan sedang menghukumnya, atau mungkin Tuhan sedang mengujinya. Tiada yang pernah tahu.
Berserahlah ia penuh khusyuk, dengan ke dua tangan menengedah ke langit. Lantunan sya’ir jadi do’a indah, kepada Tuhan -Nya ia bertaubat.
“Bagaimana bisa aku hancur, sedangkan Rahmat- Mu lebih dulu dari pada Murka -Mu. Bagaimana bisa aku pasrah, sementara hal-hal baik dan indah tengah Engkau persiapkan untukku. Berilah hamba -Mu ini hati yang lapang, untuk menerima semua hal yang tak dapat ku ubah. Sungguh Engkau Tuhan -Ku yang Maha Agung nan Suci”

0 komentar:
Posting Komentar